Ketika Harus Memilih Mengikuti Mainstream atau Menjadi Antimainstream

Kawan, pernah/tidak mendengar informasi yang bertentangan dengan informasi yang selama ini umum beredar (mainstream) dan informasi ini sangat menghebohkan? Saya pernah, bahkan sering. Salah satu contohnya nih ketika mainstream mengatakan “rajin–rajinlah menggosok gigi dengan pasta gigi agar terhindar dari gigi berlubang” ada informasi tandingan yang beredar dengan mengatakan “Jangan menggunakan pasta gigi karena mengandung fluoride yang merupakan bahan baku bom!”. Atau ketika mainstream menggalakkan minum susu, ada informasi tandingan yang menyarankan sebaliknya “Jangan minum susu! Susu itu berbahaya!”. Contoh yang lain adalah ketika mayoritas menyatakan bahwa demokrasi adalh sistem yang terbaik saat ini, ada juga informasi yang menentangnya dengan menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem bobrok.

Di sini saya tidak ingin mengajak pembaca untuk membahas apakah contoh–contoh kasus di atas benar atau tidak. Saya hanya ingin mencoba menganalisis kenapa informasi yang sifatnya anti mainstream cenderung heboh dan pada beberapa kasus seolah–olah menjadi klaim kebenaran yang anti kritik.

Adanya mainstream dan antimainstream sesunguhnya adalah wajar karena tidak mungkin menyatukan seluruh manusia dalam satu pendapat saja. Sama wajarnya seperti adanya beragam warna di muka bumi ini. Hanya saja, ada satu pertanyaan yang menggelitik bagi saya: Kenapa para pengemban opini anti mainstream cenderung lebih militant daripada pengemban opini mainstream? Setelah direnungkan, mungkin jawabannya adalah:

Pertama, adanya keyakinan bahwa banyaknya jumlah pengusung opini bukan jaminan atas kebenaran opini tersebut. Sebagian penganut opini antimainstream yang beragama Islam bahkan seolah mendapat pembenaran dari Al Qur’an atas pilihannya. Memang benar bahwa banyaknya jumlah pengemban opini sama sekali tidak menunjukkan kebenaran opini tersebut, sama sekali bukan. Maka, sungguh benar jika kita dilarang keras mengikuti apalagi mengemban suatu opini atau pemahaman mainstream semata–mata karena itu adalah opini mainstream, banyak orang yang mengikutinya. Bahkan dalam banyak dalam Al Qur’an disebutkan keburukan mainstream. Kadang kebanyakan manusia disebut sebagai orang fasiq (QS. Al Maidah [5]: 49), kadang disebut tidak mengerti (QS. Ar Ruum [30]: 30), tidak bersyukur, tidak beriman (QS. Ar Ra’d [13]: 1), dan sebagainya. Akan tetapi, hal itu tidak dapat diartikan sebaliknya: mainstream pasti salah sedangkan antimainstream pasti benar. Baik mainstream maupun antimainstream sama–sama punya kemungkinan benar dan juga kemungkinan salah tergantung opini tersebut bisa dibuktikan kebenarannya atau tidak. Jika berkenaan dengan iptek, apakah sesuai dengan fakta / tidak. Jika berkenaan dengan agama, apakah sesuai dengan dalil syara’ atau tidak.

Kedua, masih terkait dengan jumlah pengusung. Dalam permasalahan kehidupan yang sangat kompleks, kebanyakan orang hanya melihat dari sebagian sisi saja. Hanya sedikit orang cerdas yang mampu melihat permasalahan kompleks tersebut dari segala sisinya. Jika masalah tersebut diibaratkan sebagai sebuah bangunan tinggi dan luas berbentuk kubus tanpa atap, kebanyakan orang hanya mampu melihat salah satu sisi dari bagian luar bangunan, sebagian yang lain—yang mempunyai kecerdasan dan kejelian sedikit lebih tinggi—dapat melihat keempat sisi dari bagian dalam bangunan dan sangat sedikit orang yang mampu terbang lalu mampu melihat dari atas bangunan sehingga dia mampu melihat bangunan tersebut secara utuh, dia melihat keempat sisi bagian dalam bangunan serta keempat sisi bagian luar bangunan beserta sekelilingnya. Kadangkala analisis dari orang yang dapat terbang ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan kebanyakan orang yang hanya mampu melihat dari satu sisi. Memang benar, hanya orang–orang cerdas lagi jeli yang dapat melihat dari segala sisi dan mampu menganalisis lebih dalam sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar, bukan kesimpulan yang premature lagi cacat karena melewatkan sebagian fakta. Anggapan seperti membuat sebagian pengemban ide / opini antimainstream merasa dirinya lebih cerdas daripada kebanyakan orang sehingga sulit menerima kritik. Padahal ini pun bukan jaminan bahwa opini yang diemban oleh hanya segelintir orang otomatis adalah opini yang benar karena pasti dicetuskan oleh orang yang mampu terbang. Siapa tahu malah sebaliknya, opini tersebut justru lahir dari analisis orang yang rabun. Bukankah jumlah orang yang rabun juga sangat sedikit?

Ketiga, adanya asumsi bahwa sebelum menjadi mainstream, suatu ide / opini pasti terlebih dahulu menjadi opini segelintir orang cerdas. Asumsi ini membuat sebagian orang bangga mengemban ide / opini antimainstream karena menganggap dirinya berada di barisan pioneer yang kelak pada saatnya akan diikuti banyak orang ketika ide / opini tersebut menjadi opini mainstream.

Keempat, bagi sebagian orang naluri untuk mendapatkan eksistensi diri begitu kuat. Di satu sisi dia begitu ingin menjadi panutan. Di sisi lain telah begitu banyak ahli yang menjadi panutan dalam mengemban ide / opini / pemahaman mainstream, sulit bagia dia berseaing dengan para ahli untuk menjadi panutan. Ketika dia melihat kecenderungan sebagian orang ada yang menganggap opini mainstream adalah bagian dari opini orang cerdas, dia pun memilih untuk mengemban opini antimainstream, tidak peduli apakah opini tersebut benar atau salah. Yang penting dia bisa mejadi tokoh panutan dan naluri mendapatkan eksistensi dirinya terpuaskan. Semoga kita terhindar dari sifat yang semacam ini, na’udzubillaah min dzalik.

Beberapa alasan di atas tidak berarti bahwa antimainstream selalu buruk, tidak. Seperti yang saya nyatakan di awal, baik mainstream maupun antimainstream sama sekali tidak menjadi indikasi kebenaran. Ada kalanya mainstream itu benar sedangkan antimainstream salah. Bisa juga mainstream salah sedangkan antimainstream benar. Benar/tidaknya suatu ide / opini / pemahaman ditunjukkan oleh ide itu sendiri, bukan dari jumlah penganutnya. Mari kita renungkan beberapa contoh mainstream dan antimainstream berikut:

Opini umum yang beredar di masyarakat mengatakan bahwa pemilu adalah demokrasi, demokrasi adalah pemilu. Ini mainstream yang keliru, kesimpulan premature yang melewatkan sebagian fakta sehingga analisisnya tidak sempurna. Sebagian kecil orang mampu melihat fakta yang terlewatkan oleh sebagian masyarakat sehingga analisisnya lebih komprehensif dan melahirkan kesimpulan bahwa demokrasi memang mengakui pemilu akan tetapi pemilu tidak lantas identik dengan demokrasi. Demokrasi adalah sekumpulan pemahaman sedangkan pemilu adalah teknis memilih pemimpin. Ini adalah contoh antimainstream yang benar, yang lahir dari analisis fakta yang lengkap dan mendalam.

Masih tentang demokrasi. Opini mainstream menganggap bahwa demokrasi = demonstrasi. Orang yang melakukan demonstrasi (mereka juga menyamakan antara demonstrasi dan masyiroh) berarti sedang mempraktekkan demokrasi. Ini juga merupakan mainstream yang salah yang lahir dari analisis fakta yang kurang mendalam. Sebagian kecil orang mampu menganalisis lebih mendalam dan menghasilkan kesimpulan bahwa memang demonstrasi diakui dalam demokrasi akan tetapi demonstrasi bukan hanya milik demokrasi. Demokrasi adalah sekumpulan pemahaman sedangkan demonstrasi adalah teknis penyampaian pendapat di muka umum. Ini adalah antimainstream yang benar.

Masyarakat menganggap bahwa ketika dia mendapatkan obat dengan instruksi “diminum 3 kali sehari” artinya obat itu harus diminum 3 kali dalam sehari, masalah rentang waktunya terserah: mau dimimun ketika sarapan, lunch dan diner, boleh. Mau diminum ketika bangun tidur (pagi), bagung tidur siang, dan menjelang tidur malam, juga boleh. Suka–suka lah yang pentingg dalam sehari 3 kali minum obat. Ini arus mainstream yang salah karena melewatkan sebagian ilmu. Instruksi “Diminum 3 kali sehari” maksudnya bukan sekadar frekuensi tetapi juga menunjukkan interval minum obat. Jika sehari ada 24 jam, berarti “3x sehari” maksudnya diminum tiap (24/3=) 8 jam sekali. Ini adalah antimainstream yang benar karena berdasarkan analisis fakta yang lebih lengkap, yaitu fakta tentang kadar obat dalam darah waktu demi waktu.

Sekali lagi tentang obat. Opini umum di masyarakat menganggap bahwa obat paten (baca: obat bermerk dagang) selalu lebih berkualitas dan lebih manjur daripada obat generik (baca: obat tanpa merk dagang) sehingga mereka rela membayar lebih mahal untuk obat paten, bahkan ada yang menolak menggunakan obat generik. Ini opini mainstream yang salah karena kurangnya pengetahuan tentang regulasi obat bahwa semua obat yang beredar di masyarakat harus memenuhi sejumlah standar kualitas yang ketat sehingga semua obat yang beredar mempunyai kualitas yang baik. Masalah kemanjuran, dalam hal ini kaitannya dengan cepatnya proses penyembuhan penyakit itu tergantung banyak hal, misalnya: semangat dan keyakinan pasien (jika pasien tidak meyakinkan dirinya bahwa dia bisa segera sembuh, ya tidak akan sembuh), kepatuhan pasien memenuhi nasihat tenaga medis (misal: instruksi minum obat, pola makan, pola hidup, dll), dukungan lingkungan, dll.

Ummat Islam meyakini bahwa Al–Qur’an adalah kalamullah yang tak terbantah kebenarannya dalam hal apa pun hingga kapan pun. Ini adalah mainstream yang 100% benar dengan bukti–bukti yang nyata (tapi bukan di sini pembahasannya. Jika tidak percaya, hubungi ustadz/ah terdekat!). Akan tetapi, sebagian orang nyeleneh menganggap bahwa Al–Qur’an tidak lebih dari puncak pencapaian sastra dan budaya Arab sehingga tidak perlu disakralkan dan bisa diralat sewaktu– waktu. Ini opini antimainstream yang jelas ngawur dan 100% salah, bahkan telah menjerumuskan orang yang meyakininya kepada kekafiran.

Umumnya masyarakat memahami kalau sakit dan perlu penangan ahli, ya pergi ke dokter. Jika diberi resep obat, ya ditebus lalu diminum obatnya. Ini mainstream yang benar. Sebagian kecil orang menganggap bahwa sakit apa pun tidak perlu ke dokter, apalagi minum obat kimia cukup diobati sendiri saja, semua obatnya ada di dapur. Dari mulai sakit cacar air, mual muntah, batuk pilek, diare, luka karena terjatuh, demam, sampai infeksi obatnya bawang merah, bawang putih, kunyit. Lha, ini mau menyembuhkan orang sakit atau mau masak? Bingung… Masak nasi goring kunyit saja yuuk.. Hehehe… Ini juga antimainstream yang ngawur. Untuk penyakit yang ringan seperti common cold (batuk pilek ringan), memang tidak perlu ke dokter. Kasihan dokternya, sudah repot menangani pasien lainnya yang lebih berat penyakitnya. Cukup istirahat dan penuhi nutrisi untuk tubuh, selesai. Tapi kalau sudah sampai mual muntah, diare, infeksi, dst ya perlu diperiksakan lebih lanjut ke dokter.

Jadi….
Untuk memutuskan sikap terhadap suatu ide / opini / pemahaman, tidak cukup hanya dengan melihat banyak / sedikitnya penganut ide / opini / pemahaman tersebut. Tetap perlu ilmu untuk memutuskan sikap akan mengikuti yang mana.
“….dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabanya…”
(Terjemah QS. Al Isra’ [17]: 36)

Sudah siap – siap berangkat kuliah, eeh… dapat kabar Ibu Dosen sakit sehingga kuliah kossong, yasudah selesaikan tulisan ini…
Selalu ada kebaikan di setiap keputusan ALLAH untuk hamba–NYA.
Yogyakarta, 29 Dzul Qa’dah 1433 H
Monday, October 15, 2012
9.03 a.m.

Haafizhah Kurniasih

2 thoughts on “Ketika Harus Memilih Mengikuti Mainstream atau Menjadi Antimainstream

Bagaimana Pendapat Anda?