PEMANFAATAN POTENSI ALAM INDONESIA: TABLET EKSTRAK BIJI BUNCIS (Phaseolus vulgaris) SEBAGAI FOOD SUPLEMENT PENDAMPING TERAPI DIABETES MELLITUS

Ini adalah naskah PKM GT 2011 yang disusun oleh:
Khafidoh Kurniasih dan Mita Amalia Raraswati
(Kelas Farmasi Sains dan Industri Fakultas Farmasi UGM)
Di bawah bimbingan dari
Teuku Nanda Saifullah Sulaiman, M.Si., Apt.
(Laboratorium Teknologi dan Formulasi Sediaan Farmasi Bagian Farmasetika Fakultas Farmasi UGM)

Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu gangguan kesehatan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah yang melebihi normal atau hiperglikemi (Anonim, 2011). Keadaan ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan mikrovaskuler seperti retinopathy, nephropathy dan neuropathy, kerusakan makrovaskuler seperti stroke, dan lain–lain sehingga menurunkan kualitas hidup dan menurunkan angka harapan hidup (WHO, 2006).
Sampai saat ini, DM masih menjadi permasalahan serius di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat sedikitnya 221 juta orang yang menderita DM diseluruh dunia (Konkon dkk., 2010). Dari tahun ke tahun jumlah penderita DM di seluruh dunia terus meningkat dan diprediksikan pada tahun 2030 jumlah penderita DM diseluruh dunia akan meningkat hingga mencapai angka 366 juta (Wild dkk., 2004).
Di Indonesia pun DM masih mengancam. Data yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa pada tahun 2003 Indonesia menduduki peringkat kelima dalam jumlah penderita DM terbesar di dunia dan naik menjadi peringkat ketiga pada tahun 2005 dengan jumlah penderita mencapai 13 juta orang. Dari jumlah tersebut, 650 ribu di antaranya adalah anak – anak yang umumnya menderita DM tipe 2 (Anonim, 2008 dan Anonima, 2009). Menurut peneliti dari Pusat Diabetes dan Nutrisi (PDN) RS Dr. Soetomo Surabaya, jumlah ini terus meningkat dengan peningkatan rata – rata mencapai 5,6% per tahun. Bahkan di beberapa kota Besar seperti Jakarta, peningkatan dapat mencapai 12% per tahun. Kondisi ini sangat memprihatinkan mengingat angka kematian akibat DM cukup tinggi. Sebagai gambaran, 6 orang meninggal tiap menit akibat komplikasi DM di seluruh dunia (Anonimb, 2009).
Upaya terapi yang biasa dilakukan para penderita DM selama ini adalah dengan mengkonsumsi Obat Hipoglikemik Oral (OHO) sintetis seperti golongan sulfonilurea, biguanida, dan inhibitor glukosidase. Namun, dewasa ini ada kecenderungan adanya penolakan penggunaan obat–obat sintetis di tengah masyarakat. Alasannya selain karena harganya yang relatif mahal, juga karena berpotensi menimbulkan adverse effect yang tidak ringan. OHO golongan sulfonilurea seperti glibenklamid misalnya dapat menimbulkan adverse effect berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung, gangguan susunan syaraf pusat, leukopenia, trombositopenia, agranulositosis, anemia aplastik, serta hipoglikemi berlebih.
Kini ada kecenderungan masyarakat lebih memilih untuk beralih ke obat–obatan yang terbuat dari bahan alam karena adverse effect yang relatif ringan serta harganya yang murah. Salah satu bahan alam yang digunakan untuk pengobatan DM adalah buncis (Phaseolus vulgaris). Secara ilmiah, Phaseolus vulgaris telah terbukti mampu menurunkan kadar glukosa darah.
Beberapa bukti ilmiah yang menguatkannya antara lain penelitian yang dilakukan oleh Atchibri dkk. (2010), Pari dan Venkateswaran (2003), serta Roman-Ramos R, dkk. (1995). Atchibri dkk. (2010) memperkirakan bahwa efek antihiperglikemik yang dimiliki oleh Phaseolus vulgaris adalah karena adanya senyawa terpenoid dan saponin di dalamnya. Meskipun mekanisme aksi Phaseolus vulgaris dalam menurunkan kadar glukosa darah belum diketahui secara pasti, namun para ahli memperkirakan efek penurunan kadar glukosa darah terjadi karena ekstrak Phaseolus vulgaris memicu peningkatan sekresi insulin dari sel β-Langerhens atau meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan perifer seperti jaringan adiposa, otot, dan liver (Atchibri dkk., 2010 dan Pari dan Venkateswaran, 2003).
Selama ini masyarakat penderita DM mengkonsumsi buncis dengan cara yang sederhana, yaitu dibuat juice dan diminum sesaat sebelum makan. Konsumsi buncis dengan cara seperti ini memiliki banyak kekurangan, antara lain takaran dosis yang tidak dapat ditentukan, tidak praktis, serta rasa yang tidak menyenangkan sehingga sangat menyulitkan pasien, apalagi jika harus dikonsumsi dalam waktu yang lama mengingat DM merupakan penyakit degeneratif yang belum dapat disembuhkan secara total.
Perkembangan teknologi farmasi diharapkan mampu mengatasi persoalan tersebut dengan memunculkan inovasi baru dalam formulasi pengolahan bahan alam menjadi bentuk sediaan yang praktis dan lebih acceptable bagi masyarakat, yaitu dengan dibuat sediaan tablet. Selain karena lebih praktis, sediaan tablet mempunyai kestabilan fisika-kimia yang lebih baik bila dibandingkan sediaan yang lain, memberikan takaran dosis yang tepat, biaya pembuatan yang lebih murah, serta mudah dalam pengemasan dan distribusi. Dengan demikian potensi buncis sebagai agen antihiperglikemik dapat dimanfaatan secara optimal.

Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
a. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia untuk pengobatan penyakit Diabetes Mellitus;
b. Memaksimalkan pemanfaatan teknologi farmasi untuk mengolah sumber daya alam Indonesia, khususnya tanaman obat.
2. Tujuan Khusus
a. Memanfaatkan tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) sebagai alternatif dalam pengobatan Diabetes Mellitus;
b. Mengembangkan ekstrak tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) menjadi bentuk sediaan yang lebih acceptable dan praktis dalam upaya pengobatan penyakit Diabetes Mellitus.

Gagasan
A. Penyakit Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme dalam sistem endokrin yang meliputi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang terkait dengan produksi dan sensitivitas insulin serta ditandai dengan keadaan hiperglikemik. Keluhan yang biasanya dialami oleh penderita DM antara lain polidipsi, polifagi, poliuria, pruritus, dan penurunan berat badan. Hingga saat ini, penyebab DM belum diketahui secara pasti meski pun telah dapat diduga bahwa faktor genetik dan faktor gaya hidup merupakan faktor risiko DM (Atchibri dkk., 2010 dan Donga dkk., 2010). DM terbagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 terkait faktor genetik dan ketidakmampuan sel–sel β pankreas memproduksi insulin. Sedangkan DM tipe 2 adalah DM yang terkait dengan kurangnya produksi insulin oleh sel – sel β pankreas, kurangnya sensitivitas insulin atau gabungan dari keduanya. Di seluruh dunia, jumlah penderita DM tipe 2 lebih banyak dari pada jumlah penderita DM tipe 1 (Votey, 2010).

B. Buncis (Phaseolus vulgaris)
Dewasa ini, dunia mulai melirik penggunaan obat herbal dalam terapi DM karena alasan adverse effect yang relatif lebih ringan (Donga dkk., 2010). Salah satu obat herbal yang telah terbukti secara ilmiah dapat digunakan dalam terapi DM adalah buncis (Phaseolus vulgaris). Hasil riset yang dilakukan oleh Atchibri dkk. (2010) terhadap sekelompok tikus wistar jantan membuktikan bahwa Phaseolus vulgaris memiliki efek antihiperglikemik. Hasil riset yang dilakukan oleh L. Pari dan S. Venkateswaran (2003) juga menyimpulkan hal yang sama. Demikian pula riset yang dilakukan oleh Roman–Ramos dkk. (1995) juga menyimpulkan bahwa ekstrak air biji buncis memiliki aktivitas antihiperglikemik.
Zat yang diduga bertanggungjawab atas aksi antihiperglikemik tersebut adalah alkaloid, flavonoid, tannin, terpenoid, dan saponin yang banyak terkandung dalam buncis. Namun, dugaan selanjutnya lebih mengarah pada terpenoid dan saponin. (Sharma dkk, 2003; Murakami dkk., 2001 dan Kambouche dkk., 2009). Dugaan ini diperkuat dengan fakta bahwa tanaman yang mengandung terpenoid pada umumnya memiliki aksi antidiabetes (Malviya dkk., 2010). Selian itu, saponin dilaporkan menunjukkan efek penurunan glukagon yang dapat meningkatkan penggunaan glukosa, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM. Beberapa saponin juga ditemukan dapat menstimulasi pelepasan insulin dari isolat islet pankreas tikus (Hussein, 2006). Sebaliknya, flavonoid dapat menghambat aktivitas aldolase reduktase yang mengkonversi glukosa dan galaktosa menjadi bentuk-bentuk poliolnya (Buhler, 2000 dan Linder, 2006).

Mekanisme aksi antihipergliklemik buncis diprediksi melalui stimulasi sekresi insulin dari sel β pankreas atau meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan perifer (Atchibri dkk., 2010).
Mengingat pengobatan DM memerlukan jangka waktu yang lama, maka sangat diperlukan upaya untuk meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan teknologi farmasi untuk mengolah buncis menjadi sediaan yang praktis dan mudah diterima masyarakat. Sediaan tersebut adalah tablet.

C. Tablet Ekstrak Biji Buncis (Phaseolus vulgaris)
Ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masing-masing bahan obat menggunakan pelarut yang cocok, uapkan semua atau hampir semua dari pelarutnya dan sisa endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya (Ansel, 1995). Dalam hal ini, ekstrak yang akan digunakan berupa ekstrak kental.
Farmakope Indonesia Edisi IV mendefinisikan tablet sebagai sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahn pengisi dan dibuat dengan cara pengempaan atau pencetakan. (Anonim, 1995). Pada umumnya, tablet digunakan untuk pemakaian oral dan dibuat dengan penambahan zat warna, perasa, dan lapisan tertentu jika diperlukan (Ansel, 1985). Tablet biasa digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik.
Pemilihan formulasi ekstrak buncis dalam bentuk tablet ini sangat cocok untuk pengobatan DM yang memerlukan jangka waktu lama, penggunaan obat yang relatif sering dan teratur. Formulasi ini akan menghasilkan suatu sediaan yang praktissert dapat menutupi rasa dan aroma yang tidak enak dari buncis jika dikonsumsi secara tradisional. Selain itu, dengan formulasi ini dosis ekstrak yang digunakan dapat dikuantifikasi secara tepat sehingga efek antihiperglikemiknya pun dapat lebih dapat dikendalikan.
Formulasi obat dalam sediaan yang praktis dengan rasa yang relatif lebih acceptable, akan meningkatkan kenyamanan dan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi risiko kerusakan lebih lanjut dan dapat meningkatkan kualitas hidup diabetisi.
Berikut ini merupakan formula tablet ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris) tiap tablet 500mg:
Ekstrak biji buncis (Phaseolus vulgaris) 300 mg
Kalsium karbonat 120 mg
Cellulose, powdered 37,5 mg
PVP 1% (b/v) 37,5 mg
Talk 5% 5 mg

Kegunaan utama kalsium karbonat adalah sebagai bahan pengisi tablet (Rowe dkk., 2006). Dalam formulasi ini sengaja tidak menggunakan laktosa sebagai pengisi untuk meminimalisasi penggunaan gula mengingat tablet ini ditujukan bagi diabetisi. PVP dalam larutan 1% digunakan sebagai bahan pengikat. Penggunaan PVP pada konsentrasi 0,5-2% pada pembuatan tablet ekstrak tanaman dapat menghasilkan tablet yang mempunyai kekerasan yang cukup, kerapuhan yang rendah dan waktu hancur yang lama (Setyarini, 2004). Digunakan PVP dan bukan gelatin sebagai bahan pengikat karena pertimbangan pasar obat Indonesia yang mayoritas Muslim dan cenderung menolak penggunaan gelatin. Cellulose powder digunakan sebagai bahan penghancur tablet sedangkan talk digunakan sebagai bahan pelicin. Talk dapat mencegah pelekatan tablet pada mesin pencetak saat proses pengempaan tablet.

D. Proses Pembuatan Tablet Ekstrak Biji Buncis (Phaseolus vulgaris)

–> MOHON MAAF, KHUSUS BAGIAN YANG INI, SENSOR YA…
Ini “rahasia perusahaan” eee…
Insya ALLAH nanti saya produksi kalau sudah berada di industri. Harapannya sih industrinya Dawlah Khilafah, gitu… hehe….
Doakan ya….

Implementasi Gagasan
Produksi tablet ekstrak buncis ini dapat dilakukan dengan kerjasama yang baik antara industri farmasi dan masyarakat petani buncis sebagai penyedia bahan utama serta kalangan akademisi sebagai.
Beberapa peranan yang dapat dilakukan oleh masing–masing pihak antara lain:
1. Akademisi
Kalangan akademisi memegang peran penting dalam mengembangkan formulasi tablet ekstrak buncis yang optimal. Untuk mewujudkannya, mutlak diperlukan keterlibatan akademisi yang kompeten teknologi dan formulasi obat serta memiliki keahlian yang cukup tentang herbal. Selain berperan dalam pengembangan formulasi, akademisi juga berperan dalam penjaminan efek terapi dan keamanan obat ini sehingga tablet ekstrak buncis yang dihasilkan benar–benar acceptable dan dapat memberikan efek farmakologi yang diinginkan dengan keamanan yang terjamin.
2. Industri Farmasi
Setelah didapatkan formula tablet ekstrak buncis yang optimal, tahap selanjutnya adalah pengenalan manfaat dan prospeknya baik secara farmakologis maupun secara ekonomis kepada industri farmasi sehingga industry farmasi tertarik untuk memproduksinya dalam skala industri. Industri farmasi juga berperan dalam menekan biaya produksi serta biaya pemasaran agar tablet yang dihasilkan dapat dijangkau oleh masyarakat luas tanpa mengurangi kualitasnya.
3. Masyarakat
Dalam industrialisasi tablet ekstrak buncis, masyarakat khususnya petani buncis dapat berperan sebagai penyedia bahan baku berupa buncis. Industrialisasi tablet ekstrak buncis ini akan sangat membantu para petani buncis mengingat produksi buncis yang mencapai 302.624 ton (data tahun 2000) namun konsumsi buncis masyarakat Indonesia relatif rendah dan hanya sebatas untuk makanan dengan nilai ekonomi yang rendah (Adiyoga et al., 2004). Dengan industrialisasi tablet ekstrak buncis ini, maka permintaan buncis akan meningkat sehingga diharapkan penghasilan para petani buncis pun dapat meningkat.
Setelah terjalin kerjasama yang baik dan tablet ekstrak buncis telah diptoduksi, langkah selanjutnya adalah pengenalan dan pemasaran produk ke masyarakat luas, terutama para diabetisi dan tenaga kesehatan. Pengenalan ini dapat dilakukan baik melalui iklan di media massa maupun sosialisasi kepada para tenaga kesehatan. Pengenalan produk merupakan salah satu tugas bagian pemasaran industri farmasi. Namun, sebelum dipasarkan produk ini harus didaftarkan terlebih dahulu ke BPOM sebagai kelengkapan administratif dan untuk mendapatkan jaminan keamanan dari BPOM. Dengan jaminan keamanan ini, diharapakan masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan tidak ragu untuk menggunakan tablet ekstrak buncis ini.
Formulasi tablet ekstrak buncis ini diharapkan dapat menjadi terobosan baru dalam pengobatan DM yang lebih acceptable dan menarik bagi masyarakat sehingga akan meningkatkan kepatuhan para diabetisi dalam mengkonsumsi obat. Dengan demikian, tujuan terapi akan lebih mudah dicapai.
Beberapa keunggulan tablet ekstrak buncis bila dibandingkan dengan konsumsi buncis secara tradisional antara lain:
1. Penggunaan lebih praktis dan mudah dibawa kemana-mana
2. Tidak menimbulkan aroma dan rasa yang tidak enak
3. Penetapan dosis dapat dilakukan secara tepat sehingga dapat disesuaikan dengan tujuan terapi
4. Stabilitas dan daya tahan lebih lama
Keunggulan–keunggulan tersebut memberi nilai tambah bagi tablet ekstrak buncis sehingga diprediksi produk ini akan memberikan prospek yang bagus bila benar–benar direalisasikan. Selain itu, produk ini dapat menjadi solusi yang baik bagi penanganan penyakit DM sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Referensi:
–> Sensor juga aja kali ya…
Terlalu banyak…
Kalau ada yang butuh, nanti saya kirim via e-mail aja ya…
Hehehe….

22 thoughts on “PEMANFAATAN POTENSI ALAM INDONESIA: TABLET EKSTRAK BIJI BUNCIS (Phaseolus vulgaris) SEBAGAI FOOD SUPLEMENT PENDAMPING TERAPI DIABETES MELLITUS

  1. assalamualaikum wr.wb
    maaf boleh saya tau tentang cara pembuatan ekstrak buncisnya?
    soalnya saya butuh untuk penelitian saya
    sebelumnya terimakasih infonya 🙂
    wassalamualaikum..

    • Wa’alaykumussalam wa rahmatullaahi wa barakaatuh…
      Dari jurnal yang saya baca sih ekstraksinya cukup pake air saja karena toh yang yang berefek adalah ekstrak airnya, bukan ekstrak etanol atapun yang lain (ini juga faktor yang membuat saya tertarik untuk mengeksplorasi buncis lebih jauh). Hal ini karena sesuatu yang diduga sebagai zat yang bertanggungjawab atas aksi hipogliklemiknya bersifat watersolubel seperti terpenoid.
      Kalau maslah teknisnya, coba diorientasikan saja. Mungkin bisa dicoba pake maserasi atau perkolasi kemudian ekstraknya dipekatkan. Tapi memang memekatkan ekstrak air itu tidak mudah. Hehehe….
      Jangn lupa, sebelum diektrak, buncisnya dikeringkan dulu (dibuat simplisia). Kalau bisa diserbuk halus dulu.

      BTW, kalau boleh tau, fokus penelitiannya ke mana ya? Uji efek buncis atau formulasi juga? Fokus penelitian yang berbeda, mungkin saja memerlukan teknik ekstraksi yang berbeda pula…

      Selamat meneliti…
      Mohon doanya juga untuk penelitian yang sedang saya lakukan sekarang ini (tapi bukan tentang buncis). Semoga kita dimudahkan untuk melakukan yang terbaik untuk ummat…

      Wassalaamu’alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuh…

      • asslmkm..
        boleh minta daftar pustakanya?
        oya, kalau ada media lain atau no kontaknya, mohon di share k saya ya. indri.
        lagi btuh bimbingan tentang buncis untuk DM.
        hatur nuhun

      • Untuk Mba Indri:
        Monggo add FB saya Haafizhah Kurniasih atau twitter saya @fifikur atau LINE saya: fifikur untuk menjalin ukhuwah… 🙂
        Tentang referensinya, sudah saya tuliskan di bawah ya…. 🙂

    • Waduuh…, maaf…
      Belum tau…
      Mungkin ada pengunjung blog ini yang tau?
      Monggo, berbagi informasi… Berbagi ilmu…
      Semoga ilmu kita semakin barakah…

  2. moga cepat di produksi buk. obat diabetes memang mahal. apalagi penderitanya semakin banyak. dengan adanya obat yang murah membantu sekali bagi penderita yang kurang mampu

  3. Assalamualaikum mbak
    Saya pak jun dari malang, saya baru merintis usaha yang berkaitan dengan jamur, saya ingin mengetahui tentang metode ekstak buncis, kalau boleh mohon di share ke alamat email kami jamurdewa@asimas.co.id dan alamat website cv.agaricus sido makmur sentosa. Sebelumnya terima kasih untuk infomasinya, wassalamualaikum Wr.Wb

      • Wa’alaykumussalam…
        Maaf baru sempat membalas komentar (dan belum sempat membalas e-mail):
        Monggo add FB saya Haafizhah Kurniasih atau twitter saya @fifikur untuk menjalin ukhuwah… 🙂
        Untuk referensi tulisan di atas (belum saya pilah mana yang khusus tentang buncis):
        Adiyoga, Wintono et al. 2004. Laporan Akhir: Profil Komoditas Buncis. Jakarta: Departemen Pertanian.
        Anonim. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Departemen Keseharan RI. Jakarta.
        Anonim. 2008. http://www.dexa-medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=1&id=368 diakses tanggal 25 January 2011.
        Anonim a. 2009: http://indodiabetes.com/diabetes-indonesia-ranking-ke-3-di-dunia.html. diakses tanggal 25 January 2011.
        Anonim b. 2009: http://indodiabetes.com/650000-anak-mengidap-diabetes.html#ixzz1BztEHlet . diakses tanggal 25 January 2011.
        Anonim. 2011. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/diabetes.html. diakses tanggal 16 Januari 2011.
        Ansel. 1985. Introduction to Pharmaceutical Dosage Form. London: Lea&Febriger
        Atchibri, A.L.O., K.D. Broou , T. H. Kouakou, Y. J. Kouadio, dan D. Gnakri. 2010. Screening for antidiabetic activity and phytochemical constituents of common bean (Phaseolus vulgaris L.) seeds. Med. Plants Res., 4(17), pp. 1757-1761.
        Buhler DR, Miranda C. 2000. Antioxidant Activities of Flavonoid. J Agr Food Chem, 94 (1); 14-8.
        Donga J.J., Surani V.S., Sailor G.U., Chauhan S.P., dan Seth A.K. 2010. A Systematic Review On Natural Medicine Used For Therapy Of Diabetes Mellitus Of Some Indian Medicinal Plants. Pharma Science Monitor: ISSN: 0976-7908.
        Hussein HM, El Sayed EM, Said AA. 2006. Antihyperglycemic Antihiperlipidemic and Antioxidant Effect of Zizyphus Spina Christi and Zizyphus jujube zin Alloxan Diabetic Rats. Int J Pharmacol; 2 (5): 563-70
        Kambouche N, Merah B , Derdour A, Bellahouel S, Benziane MM , Younos C, Firkioui M, Bedouhene S, Soulimani R. 2009. Hypoglycemic and antihyperglycemic effects of Anabasis articulata (Forssk) Moq (Chenopodiaceae), an Algerian medicinal plant. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (20), pp. 5589-5594.
        Konkon NG, Adjoungoua AL, Manda P, Simaga D, N’Guessan KE, Kone BD 2010. Toxicological and phytochemical screening study of Mitragyna Inermis (willd.) O ktze (Rubiaceae), anti diabetic plant. J. Med. Plants Res., 2(10): 279-284.
        Linder MC. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
        Malviya, Neelesh, Sanjay Jain, dan Satna Malviya. 2010. Antidiabetic Potential Of Medicinal Plants. Acta Poloniae Pharmaceutica–Drug Research, Vol. 67 No. 2 pp. 113–118.
        Murakami T, Emoto A, Matsuda H, Yoshikawa M. 2001. Medicinal foodstuffs. XXI. Structures of new cucurbitane-type triterpene glycosides, goyaglycosides a, -b, c-, d-, e, f, g, and h, and new oleanane-type triterpene saponins, goyasaponins I, II, and III, from the fresh fruit of Japanese Momordica charantia L. Chem. Pharm. Bull., 49: 54-63.
        Pari, L. and S. Venkateswaran. 2003. Effect of an aqueous extract of Phaseolus vulgaris on the properties of tail tendon collagen of rats with streptozotocin-induced diabetes. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 36: 861-870.
        Roman-Ramos R, Flores-Sanoz JL & Alarcon-Aguilar FJ (1995). Antihyperglycemic effect of some edible plants. Journal of Ethno-pharmacology, 48: 25-32.
        Rowe, Raymond C, Paul J. Sheskey, dan Sian C. Owen. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients. 5th ed. London: Pharmaceutical Press.
        Sharma S, Nasir A, Prabhu K, Dev G, Murthy P. (2003). Hypoglycemic and hypolipidemic effect of ethanolic extracts of seeds of E. jambolana in alloxan-induced diabetic model of rabbits. J. Ethnopharm., 85: 201-206.
        Votey, Scott R. 2010. Diabetes Mellitus, Type 2 – A Review, http://emedicine.medscape.com/article/766143-overview diakses tanggal 27 January 2011.
        Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. 2004. Global prevalence of diabetes: estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004; 27 (5), 1047-1053.
        WHO. 2006: Definition And Diagnosis Of Diabetes Mellitus And Intermediate Hyperglycemia: Report of a WHO/IDF Consultation. Geneva: WHO Document Production Services.

  4. assalamualikumwr.wb
    mau tanya mba terkait formulasinya,, laktosa kan ga dipake yah, dengan alasan ini penyakit DM takutnya dpt meningkatkan GDnya. nah tapi dibanyak obat DM pengisinya itu laktosa, menurut mba gmn??? mungkin hanya beberapa jenis karbohidrat yang dapat menyebabkan DM.. maksi

    • Wa ‘alaykumussalam
      Benar, alasan kami tidak menggunakan laktosa adalah karena tablet hisap ini ditujukan untuk penderita DM. Sejauh yang kami pahami [mohon dikoreksi kalau ada yang keliru], semua gula yang bisa diubah menjadi glukosa dapat meningkatkan kadar gula darah. Satu molekul Laktosa akan terurai menjadi dua molekul glukosa kan? Maka, sebisa mungkin kami menghindari penggunaan laktosa, apalagi tablet ini adalah tablet hisap dan umumnya tablet hisap berukuran relatif besar dibanding tablet biasa.

    • Oiyaa…. saya lupa….
      Terlewat…
      Nanti saya coba check lagi ke file mentahnya (sebelum dipublish di FB)
      Maaf… Maaf… 🙂

  5. assalamualaikum mau tnya knpa tabletnya itu kok dibuat tablet hisap tdk tablet konvensional saja ? berarti yg d.pakai bijiny ya bukan buah utuhnya
    terimakasih
    *untuk penelitian sya

Bagaimana Pendapat Anda?