Pentingnya Kompetensi dalam Pandangan Islam
Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok manusia. Disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman jiwanya dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun untuknya.” (HR. Ibn Majah).
Jika kesehatan manusia terganggu, sebagaian ulama memandang hukum berobat adalah sunnah (lebih baik dilakukan selama mampu). Hal tersebut berlaku jika gangguan kesehatan tersebut hanya menimpa dirinya dan tidak membahayakan orang-orang di sekitarnya. Ada pun jika penyakitnya membahayakan orang-orang di sekitarnya (misal: penyakit menular), maka hukum berobat menjadi wajib karena Islam mengharamkan bahaya.
Tak hanya memerintahkan berobat, Islam juga memberikan tuntunan tentangnya. Selain harus bersih dari kesyirikan, Islam juga menentukan siapa yang boleh melakukan praktik pengobatan. Islam menjadikan kompetensi atau keahlian sebagai kriteria untuk memilih kepada siapa suatu urusan diserahkan. Hal ini sejalan denga napa yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Kitab Shahihnya bahwa Rasulullaah saw bersabda “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Al Bukhari). Peringatan ini juga berlaku dalam menyerahkan urusan kesehatan. Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan riwayat bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barangsiapa mengobati sedangkan ia tidak tahu mengenai pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab.” (HR. Ibn Majah).
Ulama sekaligus dokter kenamaan awal abad ke-14, Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Ath Thibbun Nabawiy menjelaskan bahwa hadits tersebut dapat ditilik dari tiga aspek, yakni aspek bahasa, fiqh, dan pengobatan (thibb). Kata thibb memiliki banyak makna, di antaranya: memperbaiki, cekatan, adat, dan sihir. Dalam kaitannya dengan pengobatan, kata thibb lebih dekat maknanya dengan memperbaiki. Hal ini selaras dengan pernyataan Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Qanun fi al-Thibb ketika menerjemahkan thibb sebagai ilmu yang mempelajari tubuh manusia berkaitan dengan sehat atau tidak sehat dengan tujuan menjaga tubuh tetap sehat dan mengembalikan kesehatan ketika tidak sehat.
Menurut Ibnul Qayyim, diwajibkan bertanggung jawab (memberikan ganti rugi atau bentuk pertangungjawaban lain) bagi thabib (dokter) bodoh jika dia mengajarkan dan melakukan praktik pengobatan padahal dia belum menguasai ilmunya. Ibnul Qayyim memperkuat pendapatnya dengan mengutip pernyataan Al Khaththabiy “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat (tentang konsekuensi) apabila seseorang melakukan kesalahan dalam pengobatan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktik pengobatan sedangkan dia tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka dia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka dia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.”
Ilmu dan Teknik Pengobatan adalah Milik Semua Peradaban
Dalam beberapa kitabnya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang memperparah kemunduran ummat adalah ketikmampuan membedakan antara hadharah (cara memandang kehidupan) dan madaniyah (peradaban fisik). Cara pandang terhadap kehidupan hanya boleh diambil dari Islam. Adapun terkait peradaban fisik, selama tidak dipengaruhi oleh cara pandang yang tidak Islami, maka boleh diambil dari mana pun, dari siapa pun. Ilmu dan teknik pengobatan termasuk dalam kategori ini. Sepanjang sejarah manusia yang silih berganti dipimpin oleh berbagai ideologi dan peradaban, ilmu dan teknik pengobatan terus berkembang. Setiap pemimpin peradaban baru mewarisinya dari peradaban lama untuk dikembangkan. Demikian pula Islam mengambil ilmu dan teknik pengobatan dari peradaban sebelumnya untuk dikembangkang. Ketika Kapitalisme mengambilalih kepemimpinan peradaban dunia, Kapitalisme pun mewarisi dan mengembangkan ilmu dan teknik pengobatan dari Islam.
Diriwayatkan bahwa uumul mu’minin Aisyah ra adalah seorang ahli fiqh, sastra dan sejarah bangsa Arab, serta ilmu pengobatan. Keponakannya, yakni Urwah bin Zubair bertanya “Yang sungguh membuatku heran, takjub dan kagum, adalah kemahiranmu dalam ilmu pengobatan. Dari mana engkau memperoleh semua itu?” Lalu ‘Āishah menjelaskan: “Wahai ‘Uryat (nama kecil ‘Urwah) sesungguhnya Rasul sering menderita sakit maka para dokter bangsa Arab dan juga dokter ‛Ajam (non Arab) sering berkunjung kepada beliau serta memberikan nasihat tentang kesehatan, bagaimana menjaga kesehatan dan keterangan-keterangan tentang obat-obatan bagipenyakit yang beliau derita. Dari sinilah aku memperoleh pelajaran tentangilmu pengobatan.”
Perhatikan bahwa Aisyah belajar ilmu pengobatan dari orang ‘ajam (non Arab). Pada zaman Rasulullah, keahlian yang dimiliki oleh bangsa ‘ajam tentu saja adalah warisan dari peradaban sebelum Islam. Tak hanya itu, pada masa awal Islam ada seorang dokter terkenal bernama Harits bin Kaldah Ats Tsaqafi yang mendapatkan ilmu dan keterampilannya dari lembaga pendidikan kesehatan Birmaristan di Jundi Shapur, Persia. Bahkan di kemudian hari, ketika kaum Muslimin berhasil menaklukkan Persia, Khilafah Islam mengadopsi sistem layanan dan pendidikan kesehatan Birmaristan yang sebelumnya merupakan kebanggaan Persia.
Untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, pada tahun 832 M Khalifah Harun al Rasyid membangun Baitul Hikmah. Perpustakaan ini menyediakan literatur-literatur yang mendukung para tenaga kesehatan memperdalam ilmunya. Karya-karya Galen, Hippocrates, dan para cendekiawan Yunani yang telah diterjemahkan tersedia di sini.
Peradaban Islam Memastikan Kompetensi Praktisi Kesehatan
Birmaristan adalah institusi yang melaksanakan dua fungsi, yakni sebagai fasilitas layanan kesehatan (rumah sakit) sekaligus lemabaga pendidikan kesehatan. Direktur rumah sakit pada masa itu merangkap tugas sebagai guru besar ilmu kesehatan yang bertanggung jawab atas pendidikan para calon praktisi kesehatan. Para peserta didiknya dibimbing untuk mempelajari barbagai macam ilmu baik secara teori maupun praktik. Di antara ilmu-ilmu yang dipelajari dalam Birmaristan adalah anatomi, fisiologi, diet, toksikologi, farmakologi, formularium obat, farmakognosi, dermatologi, pediatri, kosmetika, teknologi dan formulasi sediaan farmasi, penyakit menular, teknik pembedahan, penatalaksanaan luka, dll.
Tak hanya membekali para calon praktisi kesehatan dengan banyak ilmu yang diperlukan, peradaban Islam juga menginisiasi penjaminan mutu praktisi kesehatan. Untuk menjamin setiap dokter yang mengobati masyarakat memiliki kompetensi yang handal, pada tahun 931 M Khalifah Al Muqtadir memerintahkan Sinan ibn Tsabit —seorang dokter ahli— untuk menerbitkan lisensi pada para praktisi pengobatan. Untuk mendapatkan lisensi tersebut, para praktisi pengobatan harus lulus dari serangkaian pengujian. Pada saat itu, dari 860 praktisi yang mengikuti ujian, 160 di antaranya dinyatakan gagal. Di kemudian hari, penerbitan lisensi ini dilakukan di bawah kontrol lembaga resmi negara yang disebut Muhtasib. Seorang dokter ahli melakukan pengujian secara lisan dan praktik kepada para calon dokter. Jika seorang calon dokter dinyatakan lulus, Muhtasib akan memberikannya lisensi dan dengan demikian dia diizinkan untuk melakukan praktik pengobatan.
Peradaban Islam Pelopor Pengobatan Berbasis Data Objektif
Dalam bidang penelitian, pendidikan kesehatan dalam Khilafah telah mengenal penggunaan hewan uji untuk memastikan keamanan keamanan obat sebelum diberikan kepada pasien. Pengujian pada hewan secara sistematis ini dipelopori oleh Ar Razi. Sejarah mencatat bahwa para dokter Muslim pada era Kekhilafahan Islam dikenal memiliki keahlian yang mumpuni dalam penggunaan hewan uji. Dilaporkan bahwa Ar Razi melakukan pengujian merkuri pada monyet untuk mengetahui keamanannya untuk penggunaan pada manusia. Pada pengujian tersebut didapatkan efek samping berupa nyeri abdominal.
Menyempurnakan ajaran Ar Razi, Ibnu Sina mengingatkan bahwa respons yang didaptkan dari hewan uji belum tentu sama dengan respons pada manusia. Oleh karenanya, pengujian obat juga harus dilakukan pada manusia. Hal yang pada masa kini dikenal sebagai uji klinik.
Ar Razi juga memperkenalkan metode uji klinik layaknya uji klinik di era modern saat ini: “Untuk mengetahui efek suatu perlakuan pada suatu kondisi, bagilah pasien menjadi dua kelompok. Lakukan perlakuan tersebut hanya pada salah satu kelompok saja sedangkan kelompok lainnya dibiarkan tanpa perlakuan lalu bandingkan hasilnya.”. Untuk menganalisis hasilnya, Ar Razi juga menggunakan metode statistika.
Pendidikan kesehatan dalam Islam jualah yang memperkenalkan estmasi kemungkinan keberhasilan dan kegagalan dalam penggunaan suatu metode pengobatan. Islam tidak pernah mengajarkan kesombongan klaim suatu metode atau obat menjanjikan 100% keberhasilan. Rekam medis telah lama dikenal dalam peradaban Islam dan berdasarkan catatan pengobatan yang terdokumentasi rapi itulah Ar Razi pernah melaporkan 300 dari 2000 pasien menunjukkan perkembangan tidak sesuai dengan tujuan terapi yang diberikan.
Metode pemastian potensi atau khasiat suatu obat juga diperkenalkan oleh peradaban Islam. Ibnu Sina memberikan sejumlah panduan bagaimana memastikan khasiat suatu obat dalam bukunya al-Qanun fi al-Thibb. Salah satu poin yang ditekankan oleh Ibnu Sina adalah untuk mengklaim khasiat suatu obat, obat tersebut harus memberikan efek yang sama pada seluruh atau hampir seluruh kasus. Jika tidak demikian, maka efek yang ditimbulkan hanyalah kebetulan semata.
Penutup
Islam memandang masalah kesehatan sedemikian serius. Khilafah Islam sebagai negara yang berdiri untuk menerapkan Islam selalu dibimbing oleh para ulama nan shalih senantiasa mengembangkan ilmu dan teknik pengobatan untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan layanan pengobatan dari para praktisi yang kompeten menggunakan produk dan metode yang teruji aman dan berkhasiat. Demikianlah pengobatan yang sesuai sunnah (jalan yang ditempuh) para ulama yang shalih, Lalu, sunnah siapakah yang diikuti oleh meraka yang mengabaikan kompetensi praktisinya, mengabaikan kontrol kualitas produk obatnya, juga mengabaikan validasi manfaat dan keamaan metode terapinya? Layakkah yang seperti itu mengklaim sebagai pengobatan sesuai sunnah Rasulullah?
ALLAHU A’lam.
Yogykarta, 26 Rajab 1442H
Tuesday, March 9, 2021
7.54 p.m
Khafidoh Kurniasih
Rujukan:
Al-Ghazal, S.K., 2004. Medical ethics in Islamic history at a glance. JISHIM, 3, pp.12-13.
Al Jauziyah. Ibnul Qayyim, Ath Thibbun Nabawiy. Daar Ibn Omar. Kairo. 2012: 93-95
Brewer H. Historical perspectives on health. Early Arabic medicine. J R Soc Promot Health. 2004 Jul;124(4):184-7. doi: 10.1177/146642400412400412. PMID: 15301318.
Edrie et al. Islamic Medicine in the Middle Ages. The American Journal of Medical Sciences. 2017 March
FSTC. Educating the Ottoman Physician. FSTC Limited. 2005
Miller, Andrew C. Jundi-Shapur, Bimaristans, and The Rise of Academic Medical Centres. J R Soc Med. 2006; 99: 615-617
Tidjani, A., 2016. Aisyah Binti Abu Bakar Ra: Wanita Istimewa Yang Melampaui Zamannya. Dirosat: Journal of Islamic Studies, 1(1), pp.27-40.
Zarvandi, M. and Sadeghi, R., 2019. Exploring the roots of clinical trial methodology in medieval Islamic medicine. Clinical Trials, 16(3), pp.316-321.