Jaminan Keamanan dan Kompetensi adalah Ciri Pengobatan Islami

Pentingnya Kompetensi dalam Pandangan Islam


Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok manusia. Disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman jiwanya dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun untuknya.” (HR. Ibn Majah).


Jika kesehatan manusia terganggu, sebagaian ulama memandang hukum berobat adalah sunnah (lebih baik dilakukan selama mampu). Hal tersebut berlaku jika gangguan kesehatan tersebut hanya menimpa dirinya dan tidak membahayakan orang-orang di sekitarnya. Ada pun jika penyakitnya membahayakan orang-orang di sekitarnya (misal: penyakit menular), maka hukum berobat menjadi wajib karena Islam mengharamkan bahaya.


Tak hanya memerintahkan berobat, Islam juga memberikan tuntunan tentangnya. Selain harus bersih dari kesyirikan, Islam juga menentukan siapa yang boleh melakukan praktik pengobatan. Islam menjadikan kompetensi atau keahlian sebagai kriteria untuk memilih kepada siapa suatu urusan diserahkan. Hal ini sejalan denga napa yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Kitab Shahihnya bahwa Rasulullaah saw bersabda “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Al Bukhari). Peringatan ini juga berlaku dalam menyerahkan urusan kesehatan. Dalam Sunan Ibnu Majah disebutkan riwayat bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
Barangsiapa mengobati sedangkan ia tidak tahu mengenai pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab.” (HR. Ibn Majah).
Ulama sekaligus dokter kenamaan awal abad ke-14, Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Ath Thibbun Nabawiy menjelaskan bahwa hadits tersebut dapat ditilik dari tiga aspek, yakni aspek bahasa, fiqh, dan pengobatan (thibb). Kata thibb memiliki banyak makna, di antaranya: memperbaiki, cekatan, adat, dan sihir. Dalam kaitannya dengan pengobatan, kata thibb lebih dekat maknanya dengan memperbaiki. Hal ini selaras dengan pernyataan Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Qanun fi al-Thibb ketika menerjemahkan thibb sebagai ilmu yang mempelajari tubuh manusia berkaitan dengan sehat atau tidak sehat dengan tujuan menjaga tubuh tetap sehat dan mengembalikan kesehatan ketika tidak sehat.


Menurut Ibnul Qayyim, diwajibkan bertanggung jawab (memberikan ganti rugi atau bentuk pertangungjawaban lain) bagi thabib (dokter) bodoh jika dia mengajarkan dan melakukan praktik pengobatan padahal dia belum menguasai ilmunya. Ibnul Qayyim memperkuat pendapatnya dengan mengutip pernyataan Al Khaththabiy “Saya tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat (tentang konsekuensi) apabila seseorang melakukan kesalahan dalam pengobatan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktik pengobatan sedangkan dia tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka dia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka dia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.”


Ilmu dan Teknik Pengobatan adalah Milik Semua Peradaban


Dalam beberapa kitabnya Syaikh Taqiyuddin An Nabhani mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang memperparah kemunduran ummat adalah ketikmampuan membedakan antara hadharah (cara memandang kehidupan) dan madaniyah (peradaban fisik). Cara pandang terhadap kehidupan hanya boleh diambil dari Islam. Adapun terkait peradaban fisik, selama tidak dipengaruhi oleh cara pandang yang tidak Islami, maka boleh diambil dari mana pun, dari siapa pun. Ilmu dan teknik pengobatan termasuk dalam kategori ini. Sepanjang sejarah manusia yang silih berganti dipimpin oleh berbagai ideologi dan peradaban, ilmu dan teknik pengobatan terus berkembang. Setiap pemimpin peradaban baru mewarisinya dari peradaban lama untuk dikembangkan. Demikian pula Islam mengambil ilmu dan teknik pengobatan dari peradaban sebelumnya untuk dikembangkang. Ketika Kapitalisme mengambilalih kepemimpinan peradaban dunia, Kapitalisme pun mewarisi dan mengembangkan ilmu dan teknik pengobatan dari Islam.


Diriwayatkan bahwa uumul mu’minin Aisyah ra adalah seorang ahli fiqh, sastra dan sejarah bangsa Arab, serta ilmu pengobatan. Keponakannya, yakni Urwah bin Zubair bertanya “Yang sungguh membuatku heran, takjub dan kagum, adalah kemahiranmu dalam ilmu pengobatan. Dari mana engkau memperoleh semua itu?” Lalu ‘Āishah menjelaskan: “Wahai ‘Uryat (nama kecil ‘Urwah) sesungguhnya Rasul sering menderita sakit maka para dokter bangsa Arab dan juga dokter ‛Ajam (non Arab) sering berkunjung kepada beliau serta memberikan nasihat tentang kesehatan, bagaimana menjaga kesehatan dan keterangan-keterangan tentang obat-obatan bagipenyakit yang beliau derita. Dari sinilah aku memperoleh pelajaran tentangilmu pengobatan.”


Perhatikan bahwa Aisyah belajar ilmu pengobatan dari orang ‘ajam (non Arab). Pada zaman Rasulullah, keahlian yang dimiliki oleh bangsa ‘ajam tentu saja adalah warisan dari peradaban sebelum Islam. Tak hanya itu, pada masa awal Islam ada seorang dokter terkenal bernama Harits bin Kaldah Ats Tsaqafi yang mendapatkan ilmu dan keterampilannya dari lembaga pendidikan kesehatan Birmaristan di Jundi Shapur, Persia. Bahkan di kemudian hari, ketika kaum Muslimin berhasil menaklukkan Persia, Khilafah Islam mengadopsi sistem layanan dan pendidikan kesehatan Birmaristan yang sebelumnya merupakan kebanggaan Persia.


Untuk mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, pada tahun 832 M Khalifah Harun al Rasyid membangun Baitul Hikmah. Perpustakaan ini menyediakan literatur-literatur yang mendukung para tenaga kesehatan memperdalam ilmunya. Karya-karya Galen, Hippocrates, dan para cendekiawan Yunani yang telah diterjemahkan tersedia di sini.


Peradaban Islam Memastikan Kompetensi Praktisi Kesehatan


Birmaristan adalah institusi yang melaksanakan dua fungsi, yakni sebagai fasilitas layanan kesehatan (rumah sakit) sekaligus lemabaga pendidikan kesehatan. Direktur rumah sakit pada masa itu merangkap tugas sebagai guru besar ilmu kesehatan yang bertanggung jawab atas pendidikan para calon praktisi kesehatan. Para peserta didiknya dibimbing untuk mempelajari barbagai macam ilmu baik secara teori maupun praktik. Di antara ilmu-ilmu yang dipelajari dalam Birmaristan adalah anatomi, fisiologi, diet, toksikologi, farmakologi, formularium obat, farmakognosi, dermatologi, pediatri, kosmetika, teknologi dan formulasi sediaan farmasi, penyakit menular, teknik pembedahan, penatalaksanaan luka, dll.
Tak hanya membekali para calon praktisi kesehatan dengan banyak ilmu yang diperlukan, peradaban Islam juga menginisiasi penjaminan mutu praktisi kesehatan. Untuk menjamin setiap dokter yang mengobati masyarakat memiliki kompetensi yang handal, pada tahun 931 M Khalifah Al Muqtadir memerintahkan Sinan ibn Tsabit —seorang dokter ahli— untuk menerbitkan lisensi pada para praktisi pengobatan. Untuk mendapatkan lisensi tersebut, para praktisi pengobatan harus lulus dari serangkaian pengujian. Pada saat itu, dari 860 praktisi yang mengikuti ujian, 160 di antaranya dinyatakan gagal. Di kemudian hari, penerbitan lisensi ini dilakukan di bawah kontrol lembaga resmi negara yang disebut Muhtasib. Seorang dokter ahli melakukan pengujian secara lisan dan praktik kepada para calon dokter. Jika seorang calon dokter dinyatakan lulus, Muhtasib akan memberikannya lisensi dan dengan demikian dia diizinkan untuk melakukan praktik pengobatan.


Peradaban Islam Pelopor Pengobatan Berbasis Data Objektif


Dalam bidang penelitian, pendidikan kesehatan dalam Khilafah telah mengenal penggunaan hewan uji untuk memastikan keamanan keamanan obat sebelum diberikan kepada pasien. Pengujian pada hewan secara sistematis ini dipelopori oleh Ar Razi. Sejarah mencatat bahwa para dokter Muslim pada era Kekhilafahan Islam dikenal memiliki keahlian yang mumpuni dalam penggunaan hewan uji. Dilaporkan bahwa Ar Razi melakukan pengujian merkuri pada monyet untuk mengetahui keamanannya untuk penggunaan pada manusia. Pada pengujian tersebut didapatkan efek samping berupa nyeri abdominal.


Menyempurnakan ajaran Ar Razi, Ibnu Sina mengingatkan bahwa respons yang didaptkan dari hewan uji belum tentu sama dengan respons pada manusia. Oleh karenanya, pengujian obat juga harus dilakukan pada manusia. Hal yang pada masa kini dikenal sebagai uji klinik.
Ar Razi juga memperkenalkan metode uji klinik layaknya uji klinik di era modern saat ini: “Untuk mengetahui efek suatu perlakuan pada suatu kondisi, bagilah pasien menjadi dua kelompok. Lakukan perlakuan tersebut hanya pada salah satu kelompok saja sedangkan kelompok lainnya dibiarkan tanpa perlakuan lalu bandingkan hasilnya.”. Untuk menganalisis hasilnya, Ar Razi juga menggunakan metode statistika.
Pendidikan kesehatan dalam Islam jualah yang memperkenalkan estmasi kemungkinan keberhasilan dan kegagalan dalam penggunaan suatu metode pengobatan. Islam tidak pernah mengajarkan kesombongan klaim suatu metode atau obat menjanjikan 100% keberhasilan. Rekam medis telah lama dikenal dalam peradaban Islam dan berdasarkan catatan pengobatan yang terdokumentasi rapi itulah Ar Razi pernah melaporkan 300 dari 2000 pasien menunjukkan perkembangan tidak sesuai dengan tujuan terapi yang diberikan.
Metode pemastian potensi atau khasiat suatu obat juga diperkenalkan oleh peradaban Islam. Ibnu Sina memberikan sejumlah panduan bagaimana memastikan khasiat suatu obat dalam bukunya al-Qanun fi al-Thibb. Salah satu poin yang ditekankan oleh Ibnu Sina adalah untuk mengklaim khasiat suatu obat, obat tersebut harus memberikan efek yang sama pada seluruh atau hampir seluruh kasus. Jika tidak demikian, maka efek yang ditimbulkan hanyalah kebetulan semata.


Penutup


Islam memandang masalah kesehatan sedemikian serius. Khilafah Islam sebagai negara yang berdiri untuk menerapkan Islam selalu dibimbing oleh para ulama nan shalih senantiasa mengembangkan ilmu dan teknik pengobatan untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan layanan pengobatan dari para praktisi yang kompeten menggunakan produk dan metode yang teruji aman dan berkhasiat. Demikianlah pengobatan yang sesuai sunnah (jalan yang ditempuh) para ulama yang shalih, Lalu, sunnah siapakah yang diikuti oleh meraka yang mengabaikan kompetensi praktisinya, mengabaikan kontrol kualitas produk obatnya, juga mengabaikan validasi manfaat dan keamaan metode terapinya? Layakkah yang seperti itu mengklaim sebagai pengobatan sesuai sunnah Rasulullah?
ALLAHU A’lam.


Yogykarta, 26 Rajab 1442H
Tuesday, March 9, 2021
7.54 p.m
Khafidoh Kurniasih

Rujukan:
Al-Ghazal, S.K., 2004. Medical ethics in Islamic history at a glance. JISHIM, 3, pp.12-13.


Al Jauziyah. Ibnul Qayyim, Ath Thibbun Nabawiy. Daar Ibn Omar. Kairo. 2012: 93-95


Brewer H. Historical perspectives on health. Early Arabic medicine. J R Soc Promot Health. 2004 Jul;124(4):184-7. doi: 10.1177/146642400412400412. PMID: 15301318.


Edrie et al. Islamic Medicine in the Middle Ages. The American Journal of Medical Sciences. 2017 March


FSTC. Educating the Ottoman Physician. FSTC Limited. 2005


Miller, Andrew C. Jundi-Shapur, Bimaristans, and The Rise of Academic Medical Centres. J R Soc Med. 2006; 99: 615-617


Tidjani, A., 2016. Aisyah Binti Abu Bakar Ra: Wanita Istimewa Yang Melampaui Zamannya. Dirosat: Journal of Islamic Studies, 1(1), pp.27-40.


Zarvandi, M. and Sadeghi, R., 2019. Exploring the roots of clinical trial methodology in medieval Islamic medicine. Clinical Trials, 16(3), pp.316-321.

Respons terhadap RUU HIP dan Restorasi Hagia Sophia: Sinyal Kerinduan Umat pada Khilafah

Respons terhadap RUU HIP dan Restorasi Hagia Sophia:
Sinyal Kerinduan Umat pada Khilafah

5_6109491562951999820
Di tengah duka pandemi COVID-19 yang menyelimuti dunia, setidaknya ada dua peristiwa yang menggembirakan pengemban dakwah. Pertama, respons masyarakat Indonesia atas RUU Haluan Ideologi
Pancasila (HIP) dan restorasi Hagia Sophia menjadi masjid.
Kegelisahan dan Kebahagiaan Umat
Saat perhatian masyarakat dunia tersedot oleh badai pandemi, tak terkecuali Indonesia yang dari
hari ke hari perkembangan penanganan COVID-19 semakin memprihatinkan, DPR mengusulkan RUU HIP.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 RUU ini, Haluan Ideologi ini berfungsi sebagai pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional, menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta pedoman dalam mepertautkan keberagaman. Ditilik dari fungsinya, jika disahkan RUU
ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam seluruh sendi kehidupan.
Bagian paling menarik perhatian dari RUU ini adalah Pasal 7 yang mereduksi Pancasila menjadi
trisila bahkan ekasila yang membuat dasar negara sebatas gotong royong. Pasal 7 ini menimbulkan gejolak
di masyarakat. Organisasi-organisasi besar MUI, PBNU, Muhammadiyah, dan Forum Komunikasi
Purnawirawan TNI-Polri menyatakan penolakan atas RUU ini. Sa;ah satu alasannnya adalah karena tidak
dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan Larangan Ajaran
Komunisme/Marxisme dalam draft RUU tersebut (Kompas.com).
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyatakan bahwa rumusan pasal 7 seperti
mengulang kembali perdebatan yang telah selesai. Mu’ti juga menegaskan bahwa seharusnya kita tidak
memunculkan lagi perdebatan tersebut.
Sedangkan dari kalangan akademisi, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat
mengingatkan bahwa RUU ini berpotensi digunakan sebagai alat untuk memukul ideologi lain dan
memungkinkan kembali dibukanya ruang bagi komunis di Indonesia (bbc.com)
Setelah menuai penolakan keras dari berbagai kalangan di banyak wilayah, pemerintah dan DPR
sepakat untuk menghentikan pembatalkan pembahasan RUU HIP. Bahkan gelombang penolakan ini
membuat PDIP—sebagai partai yang memiliki sensitivitas ideologi paling tinggi—gentar. Berlagak seolah
seoarang negarawan sejati Puan Maharani—ketua DPR RI dari PDIP—mengatakan “DPDR dan pemerintah
berharap setalh terjadi kesepakatan antara DPR dan pemerintah, segala pertentangan pemikiran dan
sikap yang terjadi beberapa minggu terakhir ini terkait RUU HIP dapat diakhiri. Kita Kembali hidup rukun
dan damai serta kompak gotong royong melawan pandemi COVID-19 dan dampaknya,” saat menerima
draft RUU BPIP dari Mahfudz MD di Gedung DPR RI (16/7/2020) (Kompas.com)
Hingga tulisan ini dibuat, draft RUU BPIP belum dibuka untuk publik. Namun, CNNIndonesia.com
yang mengaku mendapatkan salinanresmi RUU BPIP mengatakan bahwa RUU ini terdiri atas 8 bab, 17
pasal, dan 16 halaman. RUU BPIP ini mengakomodasi tuntutan masayarakat yang menginginkan
penolakan atas komunisme dalam bagian “Mengingat” yang berbunyi “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Bomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi
Partai Komunis Indonesia”.
Masih merujuk pada CNNIndonesia.com, RUU BPIP ini juga melarang kegiatan yang menyebarkan
paham-paham berunsur komunis seperti Marxisme dan Leninisme. “Larangan setiap kegiatan
menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/ marxisme-leninisme,” demikian
bunyi salah satu ketentuan dalam RUU ini.
Di tengah kemarahan umat Islam Indonesia atas RUU HIP, berita mengejutkan datang dari Turki.
Erdogan mengumumkan pengaligfungsian Hagia Sophia Kembali menjadi masjid setalah selam berpuluh
tahun dihinakan menjadi museum. Pengumuman ini disambut penuh suka cita oleh umat Islam. Bukan
hanya di Turki, tetapi juga di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Umat tak peduli meski pengembalian fungsi Hagia Sophia menjadi masjid ini memanen kecaman
dari tokoh-kotoh Barat. Pun tak peduli bahwa Sebagian kalangan menilai ini hanyalah starategi politik
Erdogan untuk mengembalikan popularitasnya setelah kerapuhan ekonomi Turki dan ketidakmampuan
Turki mengendalikan SARS CoV-2. Meski kecurigaan ini cukup beralasan emngingat Erdogan baru
melakukannya setelah 18 tahun berkuasa dan selama ini menolak mengembalikan Hagia Sophia menjadi
masjid1
.
Umat hanya merasakan kebanggan dan kebahagiaan atas Kembali berfungsinya Hagia Sophia menjadi masjid karena di benak umat Hagia Sophia adalah simbol kemenangan pasukan Al Fatih atas
Kontantinopel. Simbol kemenangan Islam atas kesyirikan. Simbol kejayaan Utsmani, kekuasaan Islam.
Membaca Respons Masyarakat
Derasnya arus penolakan RUU HIP ini adalah hal yang patut kita syukuri karena menunjukkan sensitivitas publik terhadap upaya reduksi peran agama dalam kehidupan bernegara. Dilihat dari komponen penolak RUU HIP yang didominasi oleh elemen umat Islam, dapat kita baca bahwa penolakan
tersebut lahir dari dorongan akidah yang tidak menginginkan kian terpinggirkannya nilai-nilai Islam akibat hilangnya  sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dan digantikan dengan sebatas gotong royong. Ini adalah
modal besar untuk menumbuhkan kesadaran publik tentang pentingnya penerapan syari’at Islam dalam
seluruh sendi kehidupan.
Pun demikian suka citanya umat di berbagai belahan Bumi menyambut kembalinya adzan di Hagia
Sophia. Ini adalah sinyalemen kerinduan umat atas ukhuuwah yang tak tesekat oleh nation state. Hagia
Sophia yang berada di Turki dan selama ini menjadi asset Turki menjelma menjadi milik bersama umat
Islam sedunia. Menjadi sebab kegemberiaan umat di seluruh penjuru Bumi. Kegembiraan ini tentu tak
lepas dari kenangan umat atas kejayaannya di masa lalu, saat Utsmani memimpin Kekhilafahan Islam dan
membawa umat ini ke puncak kejayaan yang menjadi poros peradaban dunia. Suka cita ini adalah ekspresi dari keinginan terdalam umat untuk kembali bersatu dan meraih kedigdayaannya.
Sayangnya, tidak banyak kalangan yang cukup peka menangkap perasaan umat ini sehingga ekspresi yang muncul pun menjadi bias. Misalnya dengan memunculkan narasi seolah penolakan ini hanya karena trauma sejarah atas kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) pada medio 1960an. Juga narasi
yang mengesankan penolakan ini sebatas karena ketakutan bahwa RUU ini akan dijadikan alat pukul bagi
penguasa untuk melumpuhkan lawan politiknya. Pun anggapan bahwa suka cita atas restorasi Hagia Sophia hanyalah sebatas dukungan atas hak prerogatif Erdogan sebagai presiden Turki untuk memutuskan
permasalahan internalnya. Atau sebatas kegembiraan mengenang kejayaan masa lalu. Sesungguhnya
narasi-narasi ini tidak cukup mengekspresikan perasaan umat atas RUU HIP.
Mewaspadai Pengokohan Sekulerisme
Merespons gelombang penolakan yang begitu kuat, pengusung RUU HIP, PDIP tampak melunak. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan “…demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna dan menegaskan larangan terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila
seperti Marxisme-Komunisme, Kapitalisme-Liberalisme, Radikalisme serta bentuk Khilafahisme juga
setuju untuk ditambahkan.”
Jika pernyataan Hasto ini diakomodasi dalam merumuskan pengganti RUU HIP, ini justru lebih berbahaya dan bertentangan dengan aspirasi publik penentang RUU HIP. Hal ini karena berkaca dari pengalaman, istilah radikalisme cenderung digunakan sebagai label bagi sejumlah gerakan Islam. Bahkan radikalisme seringkali dilekatkan pada ajaran Islam, yakni jihad.
Di sisi lain, ketika umat telah memahami bahwa Khilafah adalah bagian ajaran Islam dan diskursus
di tengah ummat telah berputar pada bagaimana bentuk Khilafah atau Khilafah periode mana yang layak
dijadikan rujukan, munculnya diksi Khilafahisme adalah upaya untuk mengesankan bahwa Khilafah adalah
ajaran tersendiri yang terpisah dari Islam. Munculnya diksi ini patut diduga sebagai upaya untuk melarang salah satu ajaran Islam, yakni Khilafah. Sedangkan pelarangan atas salah satu ajaran Islam tak ada bedanya dengan pelarangan atas seluruh ajaran Islam.
Demikian pula suka cita umat atas restorasi Hagia Sophia jangan sampai diarahkan untuk mendukung demokrasi. Berhati-hatilah dengan penggiringan opini bahwa demokrasi adalah sistem yang
fair, sekularisme adalah jalan tengah adil. Buktinya, di negeri sekuler yang demokratis seperti Turki, Erdogan yang muslim dapat menduduki tampuk kepemimpinan, bahkan dapat mengembalikan fungsi Hagia Sophia menjadi masjid, mengembalikan simbol kejayaan Islam. Jangan biarkan umat menjadi korban manuver politik para politisi sekuler yang hanya mengeksploitasi dukungan umat demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Adalah ironi jika kerinduan umat akan kejayaan Islam justru dikanalisasi untuk mendukung sistem yang akan selamanya mengerdilkan dan mengunci Islam di sudut ruang-ruang privat.
Sistem yang tidak akan membiarkan Islam menjadi nafas peradaban.
Mengekspresikan Aspirasi Ummat dengan Narasi yang Benar
Ada benang merah yang menghubungkan antara kemarahan muslim Indonesia atas RUU HIP dan
suka cita muslim dunia atas kumandang adzan dari Hagia Sophia yakni: 1. Kekhawatiran semakin
tersingkirkannya peran syari’at dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta 2. Kerinduan akan
kejayaan yang berlangsung saat agama menjadi poros peradaban yang disimbolkan dengan alih fungsi
simbol puncak peradaban saat itu yakni Hagia Sophia menjadi masjid.
Sayangnya sperti yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani dalam At Takatul al Hizbiy
bahwa saking jauhnya umat dari pemikiran dan kehidupan Islam umat kebingungan mengungkapkan apa
yang dirasakan dan / atau diinginkannya dengan ungkapan yang Islami. Alih-alih itu, umat malah sibuk
mencari padanan istilah dari peradaban lain yang dianggap mewakili perasaan dan / atau keinginan Tanpa sadar, pemilihan istilah-istilah tersebut untuk mengungkapkan perasaan dan / atau keinginannya justru akan menyeret umat semakin jauh terperosok dalam peradaban lain tersebut (misalnya: peradaban
Barat) yang sejatinya bertolak-belakang dengan keinginan dan / atau perasannya tersebut. Untuk itulah,
pengemban dakwah harus mampu membaca dengan jelas perasaan dan / atau keinginan terdalam umat
lalu mengekspresikannya dengan ungkapan yang benar.
Contohnya: ketika umat resah kerena berada dalam kehidupan yang menemapatkan perempuan
sebatas dapur, sumur, dan kasur. Kehidupan yang menjadikan perempuan warga kelas dua dan tertindas.
Pada saat yang sama umat jauh dari pemikiran Islam, tidak mengenal syari’at Islam dan tidak memiliki
gambaran bagaimana Islam memposisikan laki-laki dan perempuan. Literatur yang dibaca oleh simpul-
simpul umat (baca: para cendekia dan aktivis) adalah literatur Barat. Yang umat saksikan adalah
pengaturan a la Kapitalisme Liberalisme. Maka, umat hanya menemukan ungkapan yang mendekati
keinginannya adalah feminisme, yang seolah-olah mengangkat perempuan dari statusnya sebagai warga
keals dua. Padahal, gagasan feminisme justru akan membuat para Muslimah semakin menderita.
Itulah gambaran umat di Indonesia saat ini. Umat diliputi kegalauan dan kekhawatiran akan
bangkitnya Komunisme yang penuh kekejaman dan memaksa mereka mendurhakai Tuhannya. Umat
takut jika poin ketuhanan tidak lagi tercantum sebagai dasar negara, maka kehidupan ini semakin jauh
dari rahmat. Sayangnya umat tidak memiliki pemahaman tentang bagaimana aturan Islam tentang
kehidupan bernegara. Umat tak pernah punya gambaran tentang bagaimana harmonisasi kehidupan
super-heterogen dalam pengaturan negara berdasarkan Islam. Literatur yang mereka dapati adalah
tentang Sekularisme yang menjadi musuh kediktatoran Komunisme. Maka, mereka pun merasa terwakili
oleh Sekularisme yang memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk menyembah Tuhannya meski
ketuhan hanya dijadikan simbol dan tidak benar-benar berperan dalam kehidupan bernegara.
Umat Islam di berbagai penjuru Bumi menginginkan kembali kejayaan yang pernah diraih pada
masa lampau. Umat merindukan kedudukan sebagai pemimpin peradaban yang pernah diraih para
pendahulu. Tetapi umat tidak tahu bagaimana para pendahulu itu meraih kedudukannya sebagai
pemimpin peradaban. Umat juga tidak punya gambaran melalui system seperti apa para pendahulu
merawat kejayaannya. Yang umat saksikan adalah ilusi keberhasilan Erdogan dalam mengembalikan
simbol kejayaan Islam. Maka, tidak mengherankan jika restorasi Hagia Sophia menjadi amplifier seruan
agar umat berpartisipasi aktif dalam Demokrasi. Umat didorong menjadi pejuang Demokrasi yang pada
hakikatnya justru akan terus mengerdilkan Islam.
Pengemban dakwah harus mampu menyadarkan umat tentang apa yang sebenarnya mereka
inginkan dengan ungkapan yang benar lagi tepat, bukan sekadar dengan ungkapan yang mirip yang
ditemukan dalam konsep peradaban di luar Islam.
Produktifkan Umat dengan Ekspresi yang Benar
Umat akan dengan suka rela menempuh jalan perubahan ke arah peradaban Islam jika dan hanya
jika terpenuhi syarat berikut: 1. Umat menyadari keboborokan system kehidupan saat ini, 2. Umat melihat
adanya sistem kehidupan lain yang lebih baik dan feasible (yakni Islam), dan 3. Umat merasa yakin
sanggup menanggung konsekuensi atas perjuangan yang akan dilakukan.
Pengemban dakwah harus mampu meyakinkan umat bahwa kemarahan dan kekhawatiran yang
dirasakan atas RUU HIP adalah bukti nyata kebobrokan sistem kehidupan saat ini. Pun harus mampu
meyakinkan umat bahwa eksistensi Hagia Sophia beserta sejarah yang dimilikinya adalah bukti bahwa
sistem Islam itu bukan hanya feasible melainkan memang pernah eksis bahkan berjaya.

Sudah saatnya bagi para pengemban dakwah untuk kembali mengkaji sirah dan sejarah Islam untuk dapat menghadirkan gambaran perjuangan dalam menegakkan kehidupan Islam yang akan mewujudkan keinginan terdalam mereka. Meyakinkan bahwa perjuangan itu memang tidaklah mudahtetapi feasible dan bearable.
Sudah saatnya kita tampil membawa narasi gamblang bahwa umat tak ingin lagi hidup dalam cengkeraman Sekularisme dan menginginkan semakin besarnya peran agama dalam kehidupan publik
hingga umat dapat meraih kedudukannya sebagai pemimpin peradaban nan digdaya sebagaimana umat terdahulu yang hidup di bawah kepemimpinan Muhammad Al Fatih yang mampu menguasai simbol
puncak peradaban dunia. Sudah saatnya kita ungkapkan bahwa kegelisahan ummat adalah indikasi
perlunya pengkajian ulang atas ideologi yang menjadi landasan kehidupan selama ini. Sekaranglah saatnya
membumikan diskursus tentang ideologi, mengajak semua kalangan mengkaji tentang pemikiran
mendasar mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan. Juga tentang visi kehidupan manusia di
Bumi, untuk apakah dia diciptakan?

 
Yogyakarta, 2 Dzulhijjah 1441 H
Wednesday, July 22, 2020
8.49 p.m.
Haafizhah Kurniasih

Obat Harapan Bangsa?

Obat Harapan Bangsa?

Pagi tadi di sela–sela melayani pasien, salesman serta collector saya teringat ada produk baru dari supplier baru di Herbal Corner Apotek yang belum saya baca secara teliti. Beberapa hari lalu ketika produk tersebut datang, saya dengan banyak urusan. Pun karena salesnya baru, dia ribet sendiri, bingung bagaimana caranya menuliskan faktur sehingga Apoteker Pendamping saya pun malah sibuk mengajari sales tersebut hingga akhirnya lupa meneliti produknya. Maka, pagi tadi begitu teringat, saya langsung menuju Herbal Corner mencari produk tersebut. Dan… ah, benar saja ada masalah di kemasannya. Eh, lebih tepatnya klaim yang tertulis di kemasannya.

Klaim yang tertulis di kemasan salah satu produk herbal

Klaim yang tertulis di kemasan salah satu produk herbal

Continue reading

Perempuan, Bekerjalah! (?)

Perempuan, Bekerjalah! (?)

Bekerja dan berpenghasilan telah menjadi keinginan sekaligus kebutuhan sebagian besar perempuan: single, istri, ibu, bahkan nenek. Tak heran jika hampir di setiap sektor dapat dengan mudah kita temui para pekerja perempuan. Beragam motivasi yang mendasari seorang perempuan berkeinginan atau bahkan merasa butuh bekerja. Seringkali bukan hanya karena dorongan dari dalam dirinya saja tetapi juga dorongan bahkan tekanan dari masyarakat ikut memaksa perempuan bekerja. “Sarjana koq nganggur?”, “Punya gelar Magister koq cuma momong anak? Sayang sekali…”, “Percuma sudah sekolah tinggi–tinggi kalau akhirnya cuma minta uang dari suami” adalah sebagian kecil dari banyak tekanan yang dilakukan oleh masyarakat agar para perempuan bekerja. Continue reading

Ketika Manisnya Gula Berbuah Pahitnya Hidup…

Ketika Manisnya Gula Berbuah Pahitnya Hidup

StrawberryShortcakeMasih ingat iklan produk makanan (semisal sirup atau makanan manis lainnya) yang dengan bangganya mengklaim “…dengan gula asli tanpa pemanis buatan” atau “terbuat dari 100% gula asli”? Masih ingat pulakah dengan “nasihat” untuk menghindari pemanis buatan, yang sering kali saking berlebihannya seolah menganggap pemanis buatan itu racun mematikan? Dari satu sudut pandang, penggunaan gula asli bisa menjadi nilai tambah bagi sebuah produk yang dengannya dibangun persepsi bahwa wajar jika produk tersebut dijual dengan harga lebih tinggi. Continue reading

Menonton para Pendekar

Menonton Para Pendekar

“Ketika pendekar dengan pendekar bertarung, maka yang bukan pendekar harap tahu diri: cukup nonton saja. Silakan jika ingin memberikan yel–yel dukungan kepada pendekar jagoannya tapi jangan sampai menghina dina atau mengolok–olok pendekar lainnya! Sadar kapasitas diri bukan oendekar!”

Pertama kali saya membaca nasihat semakna dengan itu beberapa bulan lalu di status Facebook seorang Musyrif (Pembina halqah–pen.). Tanpa menunggu waktu lama, saya pun membubuhkan jempol saya di sana. Tepat sekali nasihat itu…. Continue reading

Kerudung dan Pekerjaan, Sebuah Pilihankah?

Kerudung dan Pekerjaan, Sebuah Pilihankah?Muslimah pink

Tak jarang kita mendengar seorang karyawati dilarang menggunakan kerudung ketika bekerja. Berita ini tentu saja mengundang respon berupa kemarahan ummat Islam, apalagi jika kejadian tersebut terjadi di negeri ini. Tentu saja alasan kemarahan tersebut adalah karena pelarangan berkerudung bagi karyawati sama halnya dengan perintah kemaksiyatan. Sebuah kemunkaran yang nyata–nyata harus dilawan. Bukankah “Barangsiapa melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangnnya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya dan jika (tetap) tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah – lemah iman”? Continue reading

Nikah Mulia, Single Terhormat

Nikah Mulia, Single Terhormat

Momen hari raya seperti ini biasanya menjadi momen kumpul keluarga besar, melepas kerinduan sambil saling menanyakan kabar, berharap hanya kabar baik yang kita dengar dari saudara–saudari terkasih. Sayangnya sering kali ada “penumpang gelap” dalam tradisi mulia menyambung silaturahmi ini. Ya, sering kali momen silaturahmi keluarga besar ini menjadi ajang pamer para pasangan muda sekaligus ajang pem-bully-an bagi mereka yang masih single. Entah sengaja atau tidak, tetapi hal ini sering terjadi. Para pasangan muda merasa bangga telah menggandeng pasangan halalnya. Bahkan ada juga lho yang bangga menggandeng pasangan haramnya (pacar) tapi saya tidak ingin membahasnya. Sudah jelas haram. Di sisi lain banyak single yang merasa terganggu karena di-bully dengan pertanyaan-pertanyaan seputar pernikahan.

Continue reading

STOP Penyalahgunaan NARKOBA dengan Menerapkan ISLAM![1]

Khafidoh Kurniasih., S.Farm., Apt.[2]

 narkotik

Mengenal NARKOBA[3]

Kata NARKOBA (Narkotika dan Obat Berbahaya lainnya) mengacu pada narkotika, psikotropika dan senyawa lainnya yang berpotensi menyebabkan ketergantungan. Menurut Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 Pasal 1, Narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Adapun gejala adanya dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan disebut sebagai ketergantungan Narkotik. Continue reading