Mengembalikan Kewibawaan Hukum

Mengembalikan Kewibawaan Hukum
HarJo 6 April2013

Kewibawaan hukum kembali ternoda oleh serentetan aksi main hakim sendiri dilakukan sejumlah oknum. Tak tanggung–tanggung, yang menjadi sasaran aksi main hakim sendiri itu adalah instansi pemerintah dan personil aparat penegak hukum. Penyerangan mapolres OKU, pengeroyokan kapolsek di Sumut, dan penyerangan lapas Cebongan, Sleman yang menewaskan empat orang tahanan hanyalah sedikit contohnya.

Rusaknya kewibawaan hukum di mata masyarakat disebabkan oleh lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum negara. Hal ini tidak lepas dari sifat hukum yang seperti pisau: tajam mengiris ke bawah tetapi tumpul ke atas dan terkesan tebang pilih. Belum lekang dari ingatan kita bagaimana hukum bersikap pada nenek tua yang mengambil beberapa biji kakao, pencuri semangka, dan orang–orang yang senasib dengan mereka. Pun masih masih segar di ingatan kita bagaimana hukum bersikap pada putra sang mentri yang karena kelalaiannya telah menghilangkan nyawa orang lain, juga sikap hukum terhadap para pejabat pelaku korupsi. Mudahnya hukum dibeli dan ketidakadilan yang dirasakan masyarakat inilah yang membuat mereka tak lagi percaya pada hukum dan cenderung memilih main hakim sendiri.

Perilaku hukum yang seperti pisau sejatinya adalah risiko yang lazim terjadi ketika hukum yang berlaku adalah hukum buatan manusia. Secara naluriah, manusia tidak akan membuat peraturan yang akan menjerat dirinya sendiri, sebaliknya cenderung membuat peraturan yang fleksibel dan menguntungnya dirinya. Itulah kenapa akan selalu ada cara untuk membebaskan para pembuat hukum (baca: legislator dan pejabat) dan keluarganya dari jerat hukum.

Kepercayaan masyarakat dan kewibawaan hukum hanya akan diraih jika hukum yang berlaku adalah hukum yang adil dan tegas kepada setiap warga negara, tidak peduli apakah dia rakyat jelata maupun penguasa. Hukum yang bersifat demikian hanya mungkin dihasilkan jika dibuat oleh pihak yang sama sekali tidak berkepentingan dengan hukum tersebut, bukan pihak yang akan menjalankan atau dikenai hukum tersebut dan paling mengerti keadaan objek dan subjek hukumnya. Dengan demikian, hukum yang dihasilkan tidak memihak kepada siapa pun, termasuk pembuat hukum. Pihak tersebut adalah TUHAN. Hanya hukum TUHAN yang ditegakkan oleh orang–orang bertaqwalah yang dapat mengembalikan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat kepada hukum.

Khafidoh Kurniasih
Aktivis Muslimah HTI

Bagaimana Pendapat Anda?