Kekacauan dalam JKN: Tak Semata Masalah Teknis[1]

Khafidoh Kurniasih., S.Farm., Apt.[2]

1414944_10200776037962531_1405335540_oGenap tiga bulan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berjalan. Namun janji manis pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan berkualitas bagi semua tak kunjung terwujud. Justru yang terjadi adalah kekacauan demi kekacauan dalam penyelenggaraan layanan kesehatan. Antrean pasien yang panjang, prosedur yang berbelit, tunggakan pada Rumah Sakit yang mengancam kebangkrutan[3] hingga perlakuan pada tenaga kesehatan yang kurang manusiawi.

JKN: Pengalihan Tanggung Jawab

Selain kekacauan dalam hal teknis seperti yang banyak dikeluhkan masyarakat dan gencar diberitakan media, program JKN ini juga menyimpan kesalahan paradigmatis. Bahkan, seluruh kekacauan teknis tersebut akibat kesalahan paradimatis ini. Kesalahan paradigmatis yang dimaksud adalah pengalihan tanggung jawab dari pemerintah ke swasta. Jaminan kesehatan sejatinya adalah tanggung jawab negara kepada rakyatnya,tetapi dalam JKN ini tanggung jawab dalam menyelenggarakan layanan kesehatan dilimpahkan kepada pihak swasta.

Lepas tangannya negara dari tanggung jawab pemberian layanan kesehatan ini ternyata tidak terlepas dari agenda Kapitalisme global. Konsep SJSN—yang di dalamnya termasuk JKN— yang saat ini diterapkan di Indonesia merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis. Karena merupakan agenda kapitalisme, tentu saja JKN ini mengikuti paradigma barat, yakni asuransi yang tidak lain merupakan bentuk swastanisasi kesehatan[4].

Hal ini bisa dilihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam  Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1): Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS  secara berkala[5].

Ada perbedaan mendasar yang tak bisa dipungkiri dalam orientasi antara negara dan swasta dalam memberikan pelayanan. Seharusnya jaminan kesehatan diberikan oleh negara kepada seluruh warganya secara penuh tanpa pertimbangan komersil sama sekali sebagaimana seorang ayah/ibu senantiasa berupaya menjamin kesehatan anak–anaknya. Berbeda halnya dengan swasta yang dalam melakukan apa pun senantiasa berorientasi pada profit, atau setidaknya tidak mau “berkorban” (baca: rugi). Swasta selalu berprinsip “ada uang, ada pelayanan”. Demikian pula dengan JKN ini. Untuk bisa memperoleh jaminan kesehatan, kita diharuskan menjadi peserta dengan membayar premi. Meskipun JKN ini diklaim sebagai asuransi sosial yang bersifat nirlaba, berbeda dengan asuransi komersial tetapi faktanya terlihat jelas BPJS –sebagai pelaksana JKN—bersifat komersil. Indikasinya terlihat dari gencarnya penarikan premi[6]—bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai pemalakan—tetapi di sisi lain biaya pelayanan—termasuk obat— yang diberikan ditekan sekecil mungkin yang bahkan saking kecilnya tidak cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan yang minimal[7]. Indikasi lainnya tuntutan gaji yang sangat besar bagi direksi dan karyawan BPJS[8] di tengah buruknya layanan kesehatan dan ancama kebangkrutan sejumlah Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Indikasi ini diperkuat dengan mencuatnya wacana pengembalian pelaksanaan JKN kepada pemerintah ketika pada faktanya sebagian besar peserta JKN adalah warga yang sakit sehingga BPJS mengalami kerugian[9].

Tolak JKN: Wujud Kasih Sayang Kita pada Penguasa

Melihat carut–marutnya pelaksanaan JKN dan menilik kesalahan paradigma yang mendasarinya, sudah sepatutnya kita menolak JKN. Kita patut menolak segala upaya swastanisasi kesehatan (dan sektor lainnya yang menjadi tanggung jawab Negara).Sudah seharusnya kita menyeru penguasa untuk mengurusi rakyatnya sebaik mungkin. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kita menolak swastanisasi bukan karena “cuma mau enaknya saja”: menuntut fasilitas tanpa mau membayar. Bukan itu esensi penolakan kita.

Kita menolak swastanisasi karena hal tersebut adalah pelanggaran hukum syara’. Sebagaimana telah jamak diketahui, Islam memandang bahwa seorang penguasa ibarat penggembala dan rakyat sebagai gembalaannya. Seorang penggembala tentu saja berkewajiban untuk mengurusi gembalaannya dengan sebaik–baiknya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa pun yang terjadi pada gembalaannya.

Menurut Islam, kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi oleh Negara. Jika pemerintah mengabaikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berarti pemerintah telah melakukan kemaksiyatan. Sebagai Muslim, kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahiy munkar, termasuk kepada pemerintah. Amar ma’ruf nahiy munkar adalah wujud kasih sayang yang nyata kepada saudara agar mereka tidak terus menerus tenggelam dalam kemaksiyatan yang akan menjerumuskan mereka ke neraka sekaligus sebagai hujjah kita di hadapan ALLAH bahwa kita telah mengingkari kema’siyatan.

Jaminan Kesehatan: Masalah Kemauan, Bukan Semata Kemampuan

Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang harus ditanggung oleh Negara. Negara harus menjamin terpenuhinya jaminan kesehatan masyarakat dan bukan sekadar memfasilitasi masyarakat untuk menjamin kesehatannya sendiri. Mungkin aka nada yang bertanya, jika kewajiban memberikan jaminan kesehatan dibebankan kepada Negara, lantas dari mana dananya?

Ingatlah bahwa negara bukanlah pengurus RT yang tidak memiliki aset apa pun sehingga hanya bisa bertindak sebagai fasilitator bagi warga untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Negara memiliki kewenangan untuk mengelola SDA milik rakyat yang berlimpah. Tambang minyak, tambang batu bara, tambang emas, kekayaan laut, hutan, dan sebagainya bisa dioptimalkan pengelolaannya sehingga dapat digunakan untuk membiayai berbagai pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Negara juga mempunyai BUMN yang seharusnya bisa dioptimalkan manajemennya agar dapat memberikan keuntungan maksimal yang dapat digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan masyarakat. Namun sayang sekali, dengan alasan absurd negara malah memberikan kewenangan mengelola SDA kepada swasta, baik domestik maupun asing dan mencukupkan diri mendapatkan pajak yang tak seberapa dari eksplorasi SDA tersebut. Pun memilih untuk memprivatisasi (baca: menjual dengan harga murah) sejumlah besar BUMN dengan alasan inefisiensi karena banyaknya korupsi. Bukannya korupsinya yang diberantas, malah perusahaannya yang dijual, jadilah tertutup kemungkinan Negara mendapatkan untung dari perusahaan tersebut. Akibatnya, Negara tak punya cukup penghasilan untuk membiayai kebutuhan masyarakat.

Jika memang berniat memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat, jangan setengah–setengah! Optimalkan pengelolaan SDA dan BUMN sehingga Negara mampu membiayai kesehatan masyarakat, bukan dengan asuransi!

Yogyakarta, 27 Jumadil Ula 1435 H

Friday, March 28, 2014

1.25 p.m.

 

[1] Disampaikan dalam Kajian Umum Mingguan MHTI Chapter UGM Sabtu, 29 Maret 2014

[2] Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

[3] Baca: http://www.klik-galamedia.com/34-rsud-terancam-bangkrut (diakses pada 28 Maret 2014)

[4] Baca: http://hizbut-tahrir.or.id/2013/12/24/sjsn-dan-bpjs-memalak-rakyat-atas-nama-jaminan-sosial-2/ (diakses pada 28 Maret 2014)

[5] Ibid.

[6] Baca: Undang–Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Pasal 10 dan Pasal 11

[7] Baca: http://www.sinarharapan.co/news/read/31536/bpjs-pasti-bikin-rumah-sakit-bangkrut (diakses pada 28 Maret 2014)

[8] Baca: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/15/mzg202-pengamat-kenaikan-gaji-direksi-bpjs-tak-rasional dan http://www.bpjs.info/beritabpjs/GAJI_DIREKSI_BPJS_Dirut_BPJS_minta_gaji_Rp_530_juta_-5451/ (diakses pada 28 Maret 2014)

[9] Baca: http://surabayanews.co.id/2014/03/15/937/keuangan-bpjs-menipis-terancam-bangkrut.html (diakses pada 28 Maret 2014)

One thought on “Kekacauan dalam JKN: Tak Semata Masalah Teknis[1]

  1. Pingback: Kekacauan dalam JKN: Tak Semata Masalah Teknis[1] - Syariah Publications

Bagaimana Pendapat Anda?